Kasih yang Bekerja dalam Diam: Pengalaman Hidup di Komunitas OCD
Di Ambang Ketidakpastian: Awal Perjalanan yang Penuh Keraguan
Tidak semua perjalanan dimulai dengan kepastian. Kadang, langkah pertama justru diambil dengan kaki gemetar dan hati penuh tanya. Itulah yang saya alami ketika pertama kali menginjakkan kaki di Yogyakarta 19 Agustus 2019 kota yang asing kala itu, namun kelak menjadi saksi bagaimana Tuhan bekerja dalam senyap dan kemurahan-Nya hadir dalam bentuk yang tak terduga.
Saya datang ke Yogyakarta bukan dalam keadaan nyaman. Tidak ada dukungan keluarga untuk melanjutkan studi, tidak ada orang tua yang mendampingi. Mereka telah tiada, dan saya harus berjalan dengan kekuatan sendiri. Tak ada pengingat yang hangat dari keluarga, tak ada sanak saudara yang bisa diajak bertukar pikiran atau diajak bicara. Bahkan untuk sekadar menanyakan kabar saya, mereka tidak pernah. Saya seperti melangkah sendirian, menuju sesuatu yang baik namun ragu dan belum tentu bisa saya jangkau.
Meskipun saya memperoleh Scholarship yang menanggung biaya studi, beban hidup tidak serta-merta lenyap. Justru muncul pertanyaan-pertanyaan baru: “Saya akan tinggal di mana?” “Apakah saya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari?” “Kala sakit, siapa yang akan menolong?” Kekhawatiran itu seperti bayang-bayang yang selalu mengikuti setiap langkah saya. Di balik tekad untuk melanjutkan studi, ada rasa takut yang membayangi; takut tidak sanggup, takut gagal, takut menghadapi kenyataan tanpa tempat berpulang.
Saya masih ingat bagaimana malam-malam pertama saya di Wisma Siena Deresan dipenuhi dengan doa-doa tanpa kata. Rasanya seperti berdiri di ujung jurang ketidakpastian, dan saya tidak tahu apakah tanah di depan saya cukup kuat untuk dipijak. Banyak kali saya bertanya dalam hati, “Tuhan, mengapa Engkau membawa aku sejauh ini kalau aku merasa begitu sendiri?”
Namun, di tengah semua kerapuhan itu, ada satu hal yang tetap saya genggam: harapan. Harapan bahwa Tuhan tidak akan membiarkan saya jatuh, meski saya sedang berjalan tanpa pegangan yang jelas. Saya percaya bahwa dalam badai kebingungan dan rasa takut, Tuhan sedang bekerja walau tak terlihat, walau tak terasa. Dia terus memberikan kekuatan: "Jangan takut, sebab Aku menyertai engkau, jangan bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan," (Yesaya 41:10). Perikope di atas menjadi pijakan batin. Saya ulang-ulang dalam hati, seolah-olah sedang mengingatkan diri sendiri bahwa saya tidak sepenuhnya sendirian. Dan benar, dalam perjalanan ini saya pelan-pelan menyadari bahwa di balik semua kekosongan, Tuhan sedang mempersiapkan ruang bagi rahmat yang lebih besar.
Perjalanan saya memang dimulai dari keraguan, tetapi bukan berarti tanpa arah. Seperti nabi Elia yang melarikan diri ke padang gurun dan merasa ingin menyerah (1 Raja-Raja 19), saya pun pernah berada di titik nyaris putus asa. Namun seperti Elia yang dijumpai malaikat Tuhan dan diberi makanan serta kekuatan baru, saya pun akhirnya dijumpai bukan oleh malaikat bersayap, tapi oleh tangan-tangan manusia yang diutus Tuhan dalam cara-Nya yang lembut dan nyata.
Komunitas OCD, menjadi tempat saya belajar bahwa keterbatasan bukan akhir dari segalanya, dan bahwa Tuhan menyusun rahmat di balik keping-keping kekhawatiran yang kita bawa. Terkadang, Tuhan memang membawa kita ke ujung gunung yang curam, bukan untuk menjatuhkan, tapi agar kita bisa belajar percaya, belajar berserah, dan mengalami secara personal bahwa di titik paling rapuh, di situlah kasih Tuhan paling kuat bekerja.
Tangan yang Terulur: Pertemuan dengan Komunitas OCD
Tuhan selalu punya cara istimewa untuk menunjukkan kebaikan-Nya bahkan sebelum kita sempat meminta-Nya. Itulah yang saya alami pada suatu hari di akhir bulan Agustus 2019. Kala itu, saya sedang dalam proses pencarian tempat tinggal yang layak: dekat dengan kampus, aman, dan tentu saja sesuai dengan kondisi keuangan saya yang sangat terbatas. Semua usaha telah saya lakukan: bertanya kepada teman, mencari informasi online, hingga menyusuri gang-gang kos'an. Namun belum juga ada yang pas di hati dan isi dompet. Lalu, seperti kilas balik dari Mazmur 121:1-2: "Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku? Pertolonganku ialah dari Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi. "Saya sungguh merasa sedang melayangkan mata ke segala arah, berharap ada tempat berpijak. Dan tepat ketika saya mulai merasa putus asa, pertolongan itu datang lewat cara yang tak terduga.
Hari itu saya diajak oleh salah seorang suster (tempat saya menginap) ke Biara OCD Gadingan. Kami datang bukan untuk mencari kos'an, melainkan ada urusan lain. Namun, dalam percakapan ringan, seorang Pastor OCD yang hadir menyadari bahwa saya sedang mencari tempat tinggal. Ia kemudian berkata, dengan nada penuh perhatian, “Kami punya rumah lama di dekat Fakultas Teologi Wedabhakti. Kalau kamu belum dapat tempat tinggal, mungkin bisa tinggal di sana.”
Sekilas, itu mungkin terdengar seperti tawaran biasa. Tapi bagi saya, kata-kata itu seperti suara Tuhan sendiri. Tangan Tuhan yang terulur melalui seorang imam Karmel yang bahkan belum mengenal saya secara dekat. Saya terdiam, lalu berkata pelan, “Kalau boleh Pater, saya sangat bersyukur.” Dan begitulah, hanya dalam beberapa hari, saya sudah mulai tinggal di “rumah lama” milik OCD yang kemudian kami sebut 'Carmela', Asrama Carmela. Sebuah tempat yang sederhana tapi hangat, cukup dekat dengan kampus, dan yang paling penting diberikan dengan kasih tanpa syarat.
Saya tidak pernah ditanyai berapa saya bisa membayar, tidak ditanya soal latar belakang, dan tidak ada syarat administrasi rumit. Yang ada hanyalah kepercayaan. Dan di sanalah saya menyadari bahwa komunitas OCD sungguh hidup dalam semangat Injil, sebagaimana ditegaskan oleh Penginjil Matius 25:35: "Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan."
Saya datang sebagai “seorang asing”, dan komunitas OCD menyambut saya sebagai saudara. Bukan hanya karena saya butuh tempat, tetapi karena mereka melihat martabat saya sebagai pribadi yang sedang berjuang.
Pengalaman ini tidak hanya memberi saya rumah secara fisik, tetapi juga rumah secara spiritual. Saya merasakan kehadiran Tuhan yang nyata dan aktif melalui komunitas ini. Inilah salah satu buah dari spiritualitas Karmel: kesediaan untuk hadir dalam kesenyapan, melayani dalam keheningan, dan mencintai dalam kerendahan hati. Sebagaimana diteladankan oleh Santa Teresa dari Ávila: "Kristus tidak memiliki tangan di dunia ini selain tanganmu. Tidak memiliki kaki selain kakimu. Engkaulah tubuh-Nya. Melalui matamu, Kristus memandang belas kasih kepada dunia ini."
Saya percaya, komunitas OCD telah menjadi perpanjangan tangan Kristus dalam hidup saya. Mereka telah memandang saya dengan kasih, menerima saya tanpa pamrih, dan menyediakan ruang bukan hanya untuk melepas lelah, berlindung dari terik matahari dan hujan, tapi juga ruang untuk tumbuh.
Kini, setiap kali masuk gerbang komunitas OCD, meski saya tidak terlalu tahu cerita asal-usul fisiknya. Tapi saya mengingat sebuah peristiwa kasih ketika Tuhan menunjukkan bahwa Ia tidak pernah terlambat, dan kasih-Nya selalu menemukan jalan, bahkan lewat percakapan sederhana di sebuah biara kecil.
Saya tinggal di komunitas OCD bukan karena saya hebat atau pantas atau mengenal dekat salah satu Imam atau Frater. Saya tinggal di sana karena Tuhan murah hati, dan karena ada komunitas yang memilih untuk hidup dalam kasih, bukan dalam syarat. Inilah tangan Tuhan yang terulur. Inilah rumah yang dibangun di atas dasar belas kasih.
Rumah Tanpa Syarat: Tinggal Bersama Tanpa Bayaran
Tinggal di komunitas OCD adalah pengalaman pertama saya tinggal di sebuah “rumah” yang bukan atas dasar kontrak sewa, melainkan atas dasar kepercayaan dan kemurahan hati. Tidak ada biaya bulanan. Tidak ada perjanjian tertulis. Tidak ada kewajiban finansial yang memberatkan. Satu-satunya hal yang diminta adalah: belajarlah sungguh-sungguh dan arahkan hidupmu pada sesuatu yang bermakna.
Awalnya saya merasa kikuk. Dalam dunia yang nyaris selalu menuntut "balasan", menerima kebaikan sebesar ini secara cuma-cuma membuat saya merasa tidak layak. Tapi di situlah saya belajar arti rumah yang sesungguhnya: tempat di mana kita boleh menjadi diri sendiri tanpa rasa takut, tanpa syarat, tanpa ancaman akan diusir jika gagal.
Komunitas OCD memperlakukan saya bukan sebagai beban, melainkan sebagai pribadi yang patut diberi ruang untuk tumbuh. Dan itu mengubah cara pandang saya tentang banyak hal: tentang kepemilikan, tentang nilai hidup, dan terutama tentang bagaimana kita memperlakukan sesama. Mereka melihat bukan siapa saya saat itu, tapi siapa saya bisa menjadi di masa depan. Mereka percaya dan dari kepercayaan itu, tumbuhlah rasa tanggung jawab dalam diri saya.
Saya belajar bahwa nilai solidaritas, kesederhanaan, dan belas kasih tidak hanya diajarkan dari atas mimbar Kotbah atau dari ruang akademik, tapi bisa diwujudkan dalam pilihan hidup yang nyata. Rumah itu menjadi ruang belajar yang paling berharga: bukan hanya tentang Teologi, tetapi tentang Kemanusiaan.
Kasih yang Bekerja dalam Diam: OCD dan Kepedulian Sehari-hari
Salah satu hal paling menyentuh selama tinggal di komunitas OCD adalah cara mereka mencintai: diam-diam, tetapi dalam. Tidak ada sorotan, tapi perhatian mereka hadir dan nyata dalam hal-hal kecil yang sering terlewat oleh dunia.
Saya masih ingat, bagaimana berapa Pastor dan Frater yang tiba-tiba datang membawa makanan seperti buah, mie, snack, dan masih banyak lagi. Atau bagaimana para Pastor itu datang dan se kadar bertanya dengan tulus, “Sudah makan belum?” Pertanyaan sederhana, tapi terasa seperti pelukan saat sedang lelah. Bahkan dalam diam mereka, saya tahu bahwa saya dilihat dan diperhatikan.
Perhatian itu nyata dalam bentuk kamar dan ruang belajar yang tenang. Kadang dalam bentuk roti dan minuman yang dibagikan tanpa banyak bicara. Kadang dalam bentuk doa yang disisipkan diam-diam dalam Misa harian. Kasih mereka seperti embun: tidak terlihat datangnya, tapi memberi kesegaran dan kekuatan untuk hari yang panjang. "Kasih tidak harus besar, asal sungguh.” (Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus). Mereka tidak banyak bicara tentang kasih mereka menjalankannya. Dan saya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang menerima kehangatan itu dalam bentuk yang paling sederhana, namun paling menguatkan.
Tumbuh dalam Keheningan: Pembentukan Diri secara Spiritual dan Akademik
Tinggal di lingkungan komunitas religius mengubah cara saya belajar bukan hanya secara intelektual, tetapi juga spiritual. Saya tidak hanya bertumbuh sebagai mahasiswa Teologi, tetapi sebagai manusia yang perlahan-lahan mengenal dirinya dalam terang Tuhan.
Keheningan yang ditawarkan komunitas OCD bukanlah keheningan kosong. Itu adalah keheningan yang penuh makna, tempat saya bisa menata hati, mendengar suara Tuhan, dan berdialog dengan batin sendiri. Saya mulai terbiasa menyisihkan waktu untuk refleksi, membaca Kitab Suci, dan meresapi pengalaman hidup sehari-hari dalam terang firman. “Tinggallah dalam batinmu seperti dalam surga, dan berjumpalah dengan Tuhan di sana.” [Santa Elisabet dari Tritunggal Mahakudus]. Saya belajar bahwa studi Teologi tanpa doa akan kering. Tapi doa yang bertumbuh dari pengalaman hidup itulah yang menjadi kekuatan.
Dalam suasana yang hening, saya bisa mendengar suara hati saya sendiri. Di tengah ritme studi yang padat, keheningan justru menjadi energi baru. Saya tidak hanya bertanya apa yang harus saya tahu, tapi mulai bertanya: untuk siapa saya belajar? Untuk apa saya hidup?
Belajar dari Karmel: Inspirasi Hidup dalam Spiritualitas OCD
Spiritualitas Karmel yang awalnya terdengar asing bagi saya perlahan-lahan belajar menjadi spirit dalam keseharian. Saya belajar dari kehidupan para Karmelit bahwa kesederhanaan bukan kemiskinan, tetapi kelimpahan yang tidak terikat pada dunia. Saya belajar bahwa pelayanan tidak selalu berarti aktif bergerak, tapi bisa juga berarti hadir secara utuh di hadapan Tuhan dan sesama.
Dari Santa Teresa dari Ávila, saya belajar keberanian untuk menghadapi batin sendiri dan kesetiaan dalam doa. Dari Santo Yohanes dari Salib, saya belajar bahwa pergumulan malam gelap, penderitaan dan kekosongan bisa menjadi jalan menuju persatuan dengan Tuhan. Dari para Pastor dan Frater yang saya jumpai, saya belajar bahwa kekudusan tidak selalu tampak besar, tapi justru hadir dalam ketekunan, kedisiplinan, dan keramahan yang konsisten.
Spiritualitas Karmel membentuk saya menjadi pribadi yang tidak hanya sibuk “melakukan”, tetapi juga “menjadi” menjadi lebih sadar, lebih hadir, dan lebih peka akan gerak rahmat Tuhan dalam hal-hal kecil. Hingga hari ini, nilai-nilai itu terus saya bawa, bahkan di luar komunitas.
Dari Penerima, Belajar Menjadi Pemberi: Menyambung Kebaikan yang Pernah Diterima
Tinggal di komunitas OCD mengajarkan saya satu hal penting: setiap rahmat yang diterima, suatu hari harus menjadi berkat bagi orang lain. Setelah sekian lama menerima kebaikan, saya mulai bertanya, “Apa yang bisa saya berikan kembali?”
Saya mulai dengan hal paling sederhana: membantu menjadi jembatan bagi teman-teman yang juga ingin tinggal di komunitas OCD terlebih pada masa pandemi covid 19. Membantu mereka bisa menghubungi para Pater di Biara Gadingan. Selain itu, menemani beberapa adik mahasiswa mencari referensi, mendampingi mereka yang sedang kesulitan akademik, hingga menjadi teman ngobrol bagi mereka yang sedang lelah. Saya juga aktif terlibat dalam kegiatan rutin di rumah seperti membersihkan, lingkungan rumah, menjaga ketenangan, terlibat dalam doa dan kehadiran.
Kebaikan itu tidak perlu menunggu besar. Dalam bahasa spiritualitas Karmel: “Melakukan hal kecil dengan cinta yang besar.”
Itulah yang saya upayakan. Memberi bukan karena saya sudah memiliki banyak, tapi karena saya tahu bagaimana rasanya menerima sesuatu saat saya tidak punya apa-apa. Kini, saya hanya ingin menyambung kebaikan yang pernah saya alami agar ada lebih banyak orang yang mengalami bahwa mereka tidak sendiri.
Rasa Syukur yang Tak Terucapkan: Merenungi 25 Tahun Berkah
Tidak mudah menuangkan dalam kata-kata apa yang saya rasakan ketika mengingat kembali perjalanan ini. Syukur saya terlalu dalam untuk dijelaskan, dan terlalu luas untuk diringkas. Komunitas OCD tidak hanya menjadi tempat tinggal bagi saya mereka menjadi bagian dari hidup saya.
Dalam syukur ini, saya belajar bahwa kebaikan tidak selalu datang dalam bentuk yang besar dan luar biasa, tapi selalu meninggalkan jejak besar dalam hidup kita. Saya ingin hidup saya menjadi semacam “doa syukur” yakni, dengan hidup yang sungguh-sungguh, dengan pelayanan yang ikhlas, dan dengan keberanian untuk meneruskan kasih itu kepada siapa saja yang saya jumpai.
Komunitas OCD telah menjadi “rahim” tempat saya dibentuk, ditumbuhkan, dan dimatangkan. Mereka hadir saat saya rapuh, menemani saat saya ragu, dan percaya saat saya belum percaya pada diri sendiri.
Komunitas OCD sebagai Wajah Gereja yang Menghidupkan
Dalam pengalaman saya bersama komunitas OCD, saya melihat wajah Gereja yang sejati: Gereja yang merangkul yang kecil, memanusiakan yang rapuh, dan menumbuhkan harapan. Saya tidak hanya melihat struktur, tetapi komunitas kasih yang hidup.
Pengalaman ini sangat sejalan dengan semangat Papa Francesco dalam Evangelii Gaudium: “Gereja harus menjadi tempat belas kasih yang bebas dari penghakiman.”
Komunitas OCD menjadi tempat itu bagi saya, tempat di mana saya diterima bukan karena saya sempurna, tapi justru karena saya sedang bertumbuh. Mereka tidak menuntut hasil, tapi mendampingi proses. Dan inilah Gereja yang saya rindukan: bukan hanya hadir dalam liturgi, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari; bukan hanya menyampaikan Firman, tapi juga mewujudkannya.
Menatap ke Depan: Harapan dan Komitmen Pribadi
Perjalanan saya bersama komunitas OCD bukan hanya sebuah fase hidup, tetapi fondasi untuk langkah-langkah ke depan. Saya tidak tahu seperti apa masa depan, tapi saya tahu dari mana saya berangkat, dan siapa yang telah membentuk saya.
Sebagai tanda syukur, saya ingin menjalani hidup ini dengan penuh tanggung jawab dan dedikasi. Saya ingin terus belajar, berbagi, dan hadir bagi sesama terutama mereka yang sedang berada di titik rapuh seperti saya dulu.
Harapan saya untuk komunitas OCD adalah agar mereka tetap menjadi rumah bagi banyak jiwa. Dunia membutuhkan lebih banyak ruang seperti ini: tempat untuk bertumbuh, berdoa, dan dipulihkan. Dan saya berharap, di mana pun saya berada, saya bisa membawa semangat itu bersama saya.
Terima kasih, Komunitas OCD. Kalian telah menjadi tangan Tuhan yang merangkul hidup saya. Sekarang, izinkan saya menjadi tangan yang merangkul orang lain. (VM)
Komentar
Posting Komentar